no fucking license
Bookmark

Contoh Cerpen Tempo : ‘La Vita e Viaggio’

Contoh Cerpen Tempo : ‘La Vita e Viaggio’
Maywin Dwi-Asmara, lahir di Mataram, 3 Mei 1992. Cerpenis dan peneliti. Pada 2014, Maywin mendapat research fellow dari satu Universitas di Bologna, Italia. Pada Oktober 2016, dia diundang Dewan Kesenian Jakarta sebagai pemateri dalam Dua Forum Teater Riset. Ia berkhidmat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Contoh Cerpen Tempo
La Vita e Viaggio ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

Contoh Cerpen Tempo : ‘La Vita e Viaggio’ 


Pernahkah kau mendengar frasa yang mengatakan bahwa hidup hanyalah perjalanan? Aku menyukai gagasan ini, terutama setelah membaca kumpulan puisi yang ditulis oleh seorang penyair yang sangat kusukai, ia satu-satunya penyair yang mampu membuatku ingin menangis hanya karena tak mampu mengerti satu baris kunci dari berbaris-baris kata yang ditulisnya. 

Dalam kumpulan puisi yang ia beri judul berdasarkan salah satu puisi yang ada di dalam kumpulan itu, ia menggambarkan dirinya sebagai obyek yang terus berjalan; lahir dan terjebak dalam perjalanan tanpa rencana. Tentu saja ia tak dapat menghindari pertemuan dan persinggungan dengan apa-apa yang ia temukan dalam perjalanan itu. 

Karena ia seorang penyair—di buku tersebut—beberapa puisinya menjadi seperti oleh-oleh, tapi beberapa yang lainnya menjadi sesuatu yang lebih berarti sebagai tato atau bekas luka permanen akibat persinggungan dan pertemuan yang tak pernah ia rencanakan. 

Karena aku begitu terpesona pada apa yang ia tulis, tiap kali selesai membaca satu puisi, aku akan melamunkan kejadian-kejadian yang kira-kira dialami oleh sang penyair hingga menghasilkan puisi yang baru selesai kubaca; apa yang ia pikirkan saat itu dan bagaimana akhirnya ia menemukan kata-kata yang bisa mewakili hal-hal yang bahkan lebih banyak dari kata yang bisa terbaca dalam satu judul puisinya. 


Hal yang kemudian biasa terjadi kepadaku ketika menggandrungi sesuatu dengan berlebihan—seperti gagasan puisi sebagai tanda bahwa hidup kita tak lebih hanyalah sebuah perjalanan seperti yang dikatakan penyair itu—adalah aku akan menilai diriku menurut dasar-dasar terbatas yang aku peroleh dari hasil pemikiranku sendiri;

apakah aku sudah cukup mampu untuk berjalan?
Apakah sesuatu telah menemukanku saat aku sedang dalam perjalanan tanpa rencana ini atau akulah yang menemukan sesuatu itu?

Apakah aku telah bersinggungan dengan sesuatu yang sebenarnya luput dari indra-indraku?
Apakah aku telah memiliki perjalanan yang bisa kutuliskan dalam puisi?

Pertanyaan terakhir ini sungguh menyakitkan karena pada akhirnya aku akan terjebak pada pertanyaan praktis: apakah aku mampu menulis puisi?
Sebuah puisi perjalanan?
Aku rasa tidak, aku yakin bahwa aku lahir di jalan yang berbeda dengan sang penyair.

Tapi begitulah, aku membawa ke mana-mana kesedihan akibat pertanyaan dan penilaian yang kubuat sendiri untuk diriku itu. Kemudian, dengan menyedihkan, aku menerjemahkan perjalanan abstrak dari gagasan yang ia tuliskan dalam bukunya itu menjadi perjalanan harfiah; aku mulai berjalan kaki, sembari waspada menangkap hal-hal yang mungkin bersinggungan denganku.

 Aku berusaha menuliskan teks imajiner pada benda-benda yang kulihat saat berjalan; misalnya tulisan bangku taman di bangku taman yang kulewati, bunga mekar di atas bunga mawar yang sedang mekar di taman, dan dengan putus asa akan merangkai nama-nama obyek yang kulihat dan menambahkan sedikit kata sifat yang tidak asing bagi siapa pun yang mengerti bahasa yang kugunakan untuk menulis demi menghindari kesalahan fatal penggunaan kata atau cara menyusunnya dan berharap paling tidak mampu menghasilkan puisi yang layak untuk kubaca sendiri.

Aku terus melakukan hal itu berhari-hari, selalu kuluangkan waktu untuk menyusuri jalan-jalan yang sering kulewati untuk tujuan ini. Saat pergi bekerja atau kembali dari pekerjaan yang melelahkan, aku tetap menajamkan indra untuk menangkap obyek-obyek di sekitarku.

Tapi hingga berhari-hari tak satu puisi pun beristirahat dengan nyaman di dalam buku saku yang kubawa-bawa. Semua begitu kekanak-kanakan, aku membencinya, bahkan sebelum selesai menulis obyek yang kulihat, bahkan gagasan untuk membaca ulang apa yang kutulis sudah mampu membuatku membenci rencanaku sendiri.

Masalah lain adalah pengertianku tentang diriku sendiri, aku sangat memahami bahwa aku bukanlah orang yang memiliki ambisi tetap, jika pada akhirnya aku tak dapat memiliki apa yang kuinginkan, aku akan benar-benar melupakannya. Menurutku, itu lebih baik karena takkan ada gunanya terlalu berkeras pada hidupku sendiri.

“Apakah Anda sedang mencari sesuatu?” tiba-tiba seorang wanita memudarkan rencanaku untuk sampai pada keputusan akhir dalam menulis puisi perjalananku.
“Tidak ada, apakah ada yang aneh?”

“Maaf, saya pikir Anda kehilangan sesuatu, karena Anda selalu terlihat menunduk seperti mencari-cari sesuatu di bangku taman, di trotoar, di lampu penyeberangan. Saya telah melihat Anda melakukan hal itu berhari-hari.”

Aku tergoda untuk menjelaskan kepadanya bahwa aku sedang mencari sesuatu yang mungkin bersinggungan denganku, tapi aku tak mengerti bagaimana mengungkapkan atau mendeskripsikan sesuatu itu.

“Oh benarkah? Bagaimana kau bisa memperhatikan semua itu? Apa kau ada di tempat ini setiap hari? Maaf, oh, bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?”


“Tidak, saya bekerja di toko seberang itu, tapi saya telah melihat Anda melintas berkali-kali. Anda tahu, tidak banyak pendatang atau orang-orang yang sering lewat di daerah ini.”

“Apa kau juga suka memperhatikan orang lain yang sering lewat di sekitar sini?” Aku bertanya. Entah mengapa aku jadi tertarik dengan gagasan mengamati semua orang ini, tentu saja kau bisa de-ngan mudah bersinggungan dengan orang-orang di mana saja, tapi bagaimana caranya bersinggungan dengan orang yang jauh dan hampir tidak dapat kau sentuh?

“Ya, secara tidak sengaja saya terbiasa melakukan itu, setelah bertemu dengan seorang wanita yang membuat saya selalu curiga kepada orang-orang yang melintas dan sering saya lihat atau bahkan yang sangat dekat dengan saya.”

“Apa yang dilakukan wanita itu kepadamu? Oh maaf sebelumnya, kau bo-leh memanggilku Lenin.”
“Lenin? Nama itu sepertinya familier, saya sering mendengar orang menyebut-nyebut nama Lenin.”
“Tentu saja, ada beberapa orang di dunia ini yang memiliki nama sama denganku.

Salah satu di antaranya bahkan sangat terkenal karena apa yang telah dilakukannya, hingga sengaja maupun tidak kau akan mendengar juga namanya disebut-sebut.”

Aku tersenyum, lalu kulanjutkan, “Nah begini, aku ingin bertanya tentang wanita yang memberimu perasaan curiga itu, apa yang sebenarnya telah dilakukan wanita itu kepadamu? Apa ia seorang pencuri atau apa?”

“Tidak, tentu saja tidak, ia adalah salah seorang pelanggan tetap kami, seorang wanita yang sangat baik dan sopan.”
“Tapi jika ia bukan seorang penjahat, dan kau bilang ia memiliki sifat santun seperti itu, mengapa kau harus merasa curiga?”

Aku pikir jika wanita itu berperilaku baik seperti yang ia gambarkan kepadaku, wajarnya perasaan curiga tak akan muncul.

Seperti yang kau tahu, otak diciptakan untuk merespons sinyal, dan pada kondisi tertentu akan mengaktifkan suatu sistem bagian depan yang salah satunya akan mengakibatkan munculnya kecurigaan. Tapi apakah kesopanan dan perilaku santun pantas menjadi alasan bagi seseorang untuk curiga?

Mungkin kecurigaan bisa menjadi jalan untuk bersinggungan dengan orang yang jauh dan bahkan tak tersentuh itu.


“Bukan apa yang ia lakukan kepada saya yang membuat saya merasa seperti itu. Tapi sesuatu yang terus-menerus diceritakannya. Apakah Anda tahu psikiater yang membuka praktik beberapa blok dari taman ini?”

Kepalanya agak dimiringkan seperti hendak memberi tahu arah mana yang harus kulihat untuk menemukan tempat praktik psikiater yang ia maksudkan.

“Ya, tentu,” hanya ada satu psikiater di daerah ini, jadi tentu aku mengetahuinya.
“Wanita ini sering datang pada jam 3 sore, selalu meminta segelas air terlebih dulu, katanya ia harus meminum beberapa pil.

Ada dua botol kecil dan nama obat-obat itu asing bagi saya karena saya tak pernah melihat orang lain meminum obat yang sama. Tapi saya sempat mencatat salah satu nama obat itu karena suatu ketika saya pernah berlari ke tempat psikiater itu untuk mengambilkan obat untuknya.

Kalau tidak salah Levosulpride 50 mg. Apa Anda pernah mendengar nama obat itu?”
“Ya, tentu.” Levosulpride, ini akan membuatmu menggigil pada malam hari, mengeluh bahwa kau tak bisa tidur akibat sakit yang tiba-tiba muncul di bagian diafragma antara perut dan dada.

“Benarkah? Hem, berarti ada orang lain juga yang meminum obat yang sama dengan wanita ini. Yang membuat saya mulai sering curiga adalah cerita yang ia tuturkan berulang, ia sering mengajak saya berbicara pada jam-jam seperti ini, pertama-tama ia menceritakan tentang alasannya sering mengunjungi psikiater itu.

Kau tahu aku tidak gila seperti yang kebanyakan orang pikirkan, begitu katanya selalu. Tentu saja saya tidak berpikir dia gila atau semacamnya. Lalu saya katakan bahwa saya mengerti ada beberapa orang yang mengunjungi psikiater untuk membantu menyembuhkan hal-hal lain.

Dia terlihat senang karena saya me-ngerti, kemudian ia membicarakan sebuah cerita pendek dari Ray Bradbury, judulnya Marioneets Inc. Apa Anda pernah membaca cerita itu?” Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, rambut cokelatnya terlihat lebih gelap.

“Ya, tentu.” Aku pernah membaca cerita itu tapi tidak membuatku begitu terpesona seperti penyair yang sedang kugandrungi sekarang.


“Dalam cerita itu, apa Anda ingat, ada seorang suami yang sengaja ingin menggantikan dirinya de-ngan sebuah mesin? Nah, wanita ini mengaku bahwa suaminya telah digantikan juga oleh mesin atau orang lain atau hal-hal semacamnya.

Ia menjelaskan perasaannya yang sangat menderita hingga saya juga ikut menderita karenanya. Katanya ia telah kehilangan suaminya saat kecelakaan mobil yang menimpa mereka dua tahun lalu, ia yakin suaminya telah meninggal di sampingnya karena ia tak lagi merasakan napas suaminya sesaat sebelum ia juga kehilangan kesadaran.

Tapi begitu ia terbangun dari koma yang panjang, ia melihat seorang laki-laki sedang duduk di samping ranjang dan menggenggam tangannya erat.

Orang itu sungguh terlihat seperti suaminya, ia tahu dengan pasti bahwa suaminya telah mati dan mungkin sudah dikuburkan saat ia sedang koma, orang yang duduk di kursi itu adalah pengganti suaminya. Anda tahu hal seperti itu bisa saja terjadi kan?”Ia terlihat sedikit gusar seperti takut akan perkataannya sendiri.

Ia diam mematung saat mengucapkan itu, aku tersenyum dan meninggalkannya di bangku taman. Sambil berjalan aku membuka halaman buku sakuku, belum ada obyek apa pun yang kutulis hari ini, mungkin inilah saatnya untuk sampai pada keputusan akhir dalam rencana menulis puisi perjalananku sendiri.

Mungkin benar bahwa aku tak perlu melakukan apa yang tak bisa kulakukan, dan aku memang tak seharusnya memaksakan untuk mentato semua kejadian dalam hidupku dengan puisi. Mungkin itu akan tergambar dalam bentuknya yang lain, mungkin dalam coretan kekanak-kanakan di buku saku yang selalu kubawa-bawa ini, mungkin juga melalui halusinasi Veronica yang mengharuskannya menelan pil-pil itu. Yang kutahu pasti adalah hidup tak akan mentatonya dalam bentuk puisi yang kutulis untuk diriku sendiri. Tapi siapa peduli, La Vita e Viaggio, hidup hanyalah perjalanan…

Demikian Contoh Cerpen Tempo : ‘La Vita e Viaggio’. 
Semoga bermafaat ya. 
Post a Comment

Post a Comment